Senin, 21 Agustus 2017

WAR FOR THE PLANET OF THE APES (2017) REVIEW : Penutup Kisah Caesar yang Tak Sempurna

Cerita tentang kera bernama Caesar ini telah mencapai ke seri ketiganya yang digadang menjadi penutup. Kehadiran trilogi remake dari Planet of The Apes ini memiliki performa yang cukup mengagetkan karena berhasil dibuat dengan kualitas yang di atas rata-rata. Penonton yang sudah cukup meremehkan pembuatan ulang dari film Planet of The Apes ini dibuat kagum dengan bagaimana performa Rise of The Planet of the Apes.

Kesuksesan secara kualitas ini pun berhasil dijaga dan dibuat dengan performa yang jauh lebih bagus lagi di dalam Dawn of the Planet of the Apes. Performa Dawn of the Planet of the Apes yang meningkat berkat pergantian sutradara dari Rupert Wyatt ke Matt Reeves ini membuat 20th Century Fox memutuskan untuk menggunakan Matt Reeves untuk mengarahkan bagian penutupnya. Maka dari itu, Matt Reeves kembali mengarahkan trilogi Planet of The Apes ini ke dalam sebuah penutup yang diharapkan dapat memiliki performa yang bagus.

War For the Planet of The Apes ini adalah sebuah seri kunci sekaligus penutup untuk kisah komplotan kera yang dipimpin oleh Caesar ini. Tak hanya Matt Reeves saja yang kembali sebagai pengarah filmnya, tetapi juga Matt Bomback yang juga membantu Matt Reeves untuk menyelesaikan naskah dari film penutupnya ini. Dimeriahkan pula oleh Woody Harrelson di jajaran nama departemen aktingnya bersama dengan Andy Serkis yang tentu saja tetap menjadi Caesar. 


Trilogi baru dari Planet of the Apes ini menjadi sebuah sesuatu yang perlu diapresiasi di perfilman Hollywood karena performanya yang stabil dan cenderung meningkat. War For the Planet of The Apes ini memang masih menjadi sebuah film yang diarahkan dan dibuat dengan baik. Tetapi, sebagai sebuah penutup, War For The Planet of The Apes ini adalah sebuah penutup yang tak sempurna. Memiliki berbagai macam kelemahan yang mendistraksi kemegahan pembuatan film ini.

Kisah utama di dalam seri-seri Planet of the Apes ini tentu saja adalah para kera, terutama tentang Caesar sebagai pemimpinnya. Tetapi, problematika penonton di film-film sebelumnya adalah minimnya relevansi yang dapat dilekatkan dengan para karakter manusianya. Sehingga, War For the Planet of the Apes ini berusaha untuk menumbuhkan relevansi itu. Hal ini pada akhirnya menganggu Matt Reeves untuk bercerita kepentingan-kepentingan karakter yang berusaha dimasukkan ke dalam film ini. 


War For the Planet of the Apes menceritakan tentang bagaimana Caesar (Andy Serkis) dan para komplotan keranya yang sudah mencari tempatnya yang damai dan aman dari gangguan. Tetapi, kehidupan mereka pada akhirnya diusik oleh para manusia yang berusaha memusnahkan komplotan kera yang dipimpin oleh Caesar. Para manusia dibantu oleh para kera lain yang membelot dari kepemimpinan Caesar ini menemukan tempat persembunyian Caesar dan komplotannya.

Caesar yang merasa dirinya dan komplotannya aman pun tak menyadari bahwa dirinya akan diserang oleh manusia. Perang pun terjadi antara para komplotan Caesar dan manusia. Hal ini pun menyebabkan banyak korban dari komplotan kera milik Caesar berjatuhan terutama kera-kera yang dekat dengan Caesar. Dengan keadaan yang seperti ini, Caesar berusaha untuk membalaskan dendamnya dan menyerang markas besar manusia yang dipimpin oleh The Colonel (Woody Harrelson). 


Berusaha memperbaiki apa yang diminta oleh para penikmat filmnya tentu menjadi sangat penting bagi sineas. Selain untuk tetap menjaga kepercayaan dari penontonnya, hal ini juga menunjukkan bahwa sineas tersebut mau belajar. Tetapi, hal tersebut tentunya perlu diimbangi dengan bagaimana kemampuan seorang sutradara dalam mewujudkan keinginan penontonnya. War For the Planet of the Apes sebenarnya akan lebih terasa penuh makna apabila tetap fokus dengan plot cerita utamanya yaitu tentang balas dendam.

Tetapi, yang dilakukan oleh Matt Reeves dan Matt Bomback adalah dengan memberikan subplot tentang manusia dan kehidupannya yang semakin melemah karena virus yang disebabkan. Informasi tentang hal tersebut memang seharusnya penting untuk semakin memperkuat dan memperbesar bangunan dunia rekaan di dalam film ini. Hanya saja, Matt Reeves seperti tak bisa menanganinya dengan seimbang. Sehingga, informasi-informasi ini yang dimasukkan sebagai cabang cerita pada akhirnya menjadi bumerang terhadap hasil keseluruhannya.

Memasukkanplot tentang kisah manusia dan memasukkan karakter manusia terlebih kepada karakter Nova menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan. Informasi yang diterima oleh penonton pada akhirnya tak bisa sepenuhnya diterima. Penonton meraba sendiri ada apa dengan karakter Nova sehingga menumbuhkan urgensi untuk masuk ke dalam plot cerita dengan screen time yang cukup banyak. Terutama ketika Nova menjadi poin kunci di akhir film dan penonton pun masih mencari motivasi karakter tersebut untuk pada akhirnya harus menjadi sosok yang penting. 


Di luar kebingungan Matt Reeves untuk berusaha memberikan relevansi antara penonton dengan karakter manusia, Matt Reeves masih bisa membuat War For the Planet of the Apes sebagai sebuah film yang masih kuat. Ada beberapa adegan yang diarahkan dengan baik sehingga muncul berbagai macam tensi dan emosi. Terlebih dalam mengarahkan Andy Serkis di balik teknologi motion capture-nya sebagai karakter Caesar. Tanpa directing dan ketelitian berakting dari Andy Serkis, War For the Planet of the Apes akan jatuh menjadi film penutup yang sia-sia.

Sebagai sebuah seri penutup, War For the Planet of the Apes masih tampil dengan cukup kuat berkat beberapa adegan penuh tensi dan keseruan yang berhasil diarahkan oleh Matt Reeves. Tetapi, sayangnya War For the Planet of the Apes bukanlah sebuah penutup yang sempurna dikarenakan usaha Matt Reeves itu sendiri dengan usahanya menjawab kemauan penonton. Hal itu menjadi bumerang bagi performa film ini serta beberapa kali diganggu oleh musik milik Michael Giacchino yang muncul terlalu sering. Sehingga, segala rasa emosional itu sering kali terasa manipulatif sekaligus memunculkan kesan dramatisasi yang berlebih. Meski begitu, trilogi Planet of the Apes ini adalah sebuah trilogi yang perlu untuk diapresiasi.

1 komentar: