Sabtu, 12 September 2015

THE MAN FROM U.N.C.L.E (2015) REVIEW : Stylish Espionage But Losing Something


Film-film spionase dan agen rahasia akhir-akhir dalam beberapa tahun terakhir ini banyak dihidupkan kembali. Pun, beberapa adaptasi dari beberapa ikon-ikon spionase lama pun dikenalkan kembali kepada penonton-penonton abad 21 ini. Dianggapnya berhasil mengundang penonton, pun para sineas Hollywood mencari ikon mana yang akan digarap ulang menjadi sebuah film berdurasi penuh untuk film layar lebar.

Tahun ini salah satunya adalah The Man From U.N.C.L.E yang diadaptasi dari serial televisi dengan judul yang sama dan sukses di tahun 1960-an. Proyek ini pun ditangani oleh Guy Ritchie yang sebelumnya pernah berhasil lewat Dwilogi Sherlock Holmes dan sebagai pemanasan sebelum seri ketiga, dia menangani proyek film ini. The Man From U.N.C.L.E dibintangi oleh Henry Cavill dan Armie Hammer sebagai pemeran utamanya.

Memiliki premis yang serupa dengan berbagai film-film bertema sama, tentu menjadi kendala bagi The Man From U.N.C.L.E untuk menjadi yang berbeda. Tetapi di tangan Guy Ritchie, The Man From U.N.C.L.E memiliki signature khas miliknya yang berbeda. Signature milik Guy Ritchie yang memiliki banyak gaya yang asyik dalam mengadegankan cerita membuat The Man From U.N.C.L.E setidaknya menarik untuk disimak. Hanya saja, Guy Ritchie kehilangan emosi yang membuat The Man From U.N.C.L.E tak tampil begitu luar biasa. 


Dua negara yang sedang berseteru, Amerika dan Rusia, memiliki dua agen mata-mata yang awalnya saling mengejar satu sama lain. Dua mata-mata itu adalah Napoleon Solo (Henry Cavill) dan Ilya Kuryakin (Armie Hammer). Setelah beberapa kali berseteru, mereka pun dipaksa bekerjasama dalam satu misi yang ditugaskan langsung oleh kedua petinggi mereka. Mereka harus melacak sebuah organisasi kejahatan yang dibuat oleh Nazi untuk mengembangkan senjata Nuklir.

Solo dan Kuryakin yang memiliki latar belakang yang berbeda, jelas merasa kesusahan untuk bekerjasama dengan baik satu sama lain. Mereka pun bersaing untuk menjadi yang terbaik meski ada dalam satu misi. Ada Gaby (Alicia Vikander) yang harus mereka libatkan karena ayahnya adalah salah satu orang yang ada di dalam organisasi tersebut. Napoleon dan Kuryakin menyamar sebagai orang yang ada di dalam kehidupan Gaby agar bisa masuk ke dalam organisasi tersebut. 


Premis-premis cerita seperti ini memang sudah terlalu sering ditemui di beberapa film bertema serupa. Jelas, hadirnya The Man From U.N.C.L.E bukan untuk menjadi sesuatu yang berbeda, tetapi untuk menjadikannya sebuah popcorn movie di waktu senggang. Tujuan The Man From U.N.C.L.E untuk menjadi film seperti itu memang tercapai dengan sangat baik. Hanya saja, setelah film berakhir dan penonton keluar dari teater mereka akan lupa beberapa detil cerita dari film The Man From U.N.C.L.E.

The Man From U.N.C.L.E bukanlah presentasi yang sempurna meskipun tetap menjadi sajian yang menyenangkan. Beberapa adegan aksinya pun digarap semenarik mungkin agar penonton tetap betah dengan 115 menit film ini. Tetapi Guy Ritchie kehilangan satu poin penting agar bisa menarik perhatian penonton hingga merasa simpati dengan karakter maupun konflik di dalam filmnya. Emosi, Guy Ritchie kehilangan itu di dalam presentasi The Man From U.N.C.L.E di sepanjang durasinya.

Setiap adegan aksinya tak memiliki kekuatan untuk memikat penontonnya. Semua terjadi begitu saja dan Guy Ritchie terlihat pasrah dalam mengarahkan The Man From U.N.C.L.E. Adegan aksinya pun tak ada yang megah dan bahkan tak se-stylish film-film Guy Ritchie sebelumnya. Fireshot, Car-chase, and fighting scene tak ada yang mampu mencapai rasa klimaks yang pas di dalam setiap adegannya. Sehingga, The Man From U.N.C.L.E tak membekas begitu lama di benak penontonnya. 


Bagaimana Guy Ritchie menyampaikan plot cerita yang penuh intrik itu pun tak sekuat Sherlock Holmes. The Man From U.N.C.L.E pun memiliki beberapa plot twist yang diselipkan di beberapa adegan filmnya. Sayangnya, Guy Ritchie tak mengolah dan menyampaikan cerita-cerita itu dengan penuh kekuatan dan hasilnya cerita-cerita turning point itu pun melempem. Mungkin penonton hanya bergumam “oh” ketika cerita itu berusaha disampaikan di tengah filmnya.

Pun, dengan durasi yang mencapai 2 jam, konflik The Man From U.N.C.L.E pun terasa diulur-ulur. Paruh tengah film The Man From U.N.C.L.E terihat bagaimana Guy Ritchie terlihat kebingungan mau diisi apa lagi agar film ini memiliki rasa yang menyenangkan, meskipun hal tersebut gagal dicapai olehnya. Beruntungnya, The Man From U.N.C.L.E memiliki beberapa komedi-komedi segar yang membuat filmnya tak melulu membuat cemberut para penontonnya.

Guy Ritchie terlihat membuat The Man From U.N.C.L.E bermain di comfort zone agar tak terlalu membuat film ini jatuh pamornya. Meski begitu, The Man From U.N.C.L.E akan berhasil bagi beberapa penonton yang ingin melepaskan sejenak pikirannya. Formula-formula usang yang ada di dalam film The Man From U.N.C.L.E setidaknya berhasil menjadikannya sebagai Popcorn movie untuk rehat sejenak dari beberapa beban pikiran penonntonnya. 


Tak mempunyai ambisi untuk menjadi yang berbeda membuat The Man From U.N.C.L.E garapa Guy Ritchie ini pun tampil tak maksimal. Segala upaya Guy Ritchie untuk membuat adegan di dalam The Man From U.N.C.L.E se-asyik mungkin tak sepenuh dicapai. Ada beberapa poin yang kehilangan kekuatan untuk menjadikan The Man From U.N.C.L.E sajian yang tampil prima. Sayangnya, Guy Ritchie lupa menghadirkan emosi di setiap durasinya agar The Man From U.N.C.L.E berhasil memikat penontonnya di dalam durasinya yang cukup panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar