Rabu, 12 Maret 2014

300 : RISE OF AN EMPIRE (2014) : THIS IS (NOT THAT) SPARTA [WITH 3D REVIEW]


This Is Sparta. Satu jargon yang akan mengingatkan kita dengan satu film kolosal garapan Zack Snyder dengan judul 300. Di tahun 2014 ini, film kolosal dengan penuh gaya yang berbeda itu kembali dihidupkan kembali lewat sebuah film layar lebar terbaru. Film yang diadaptasi dari graphic novel milik Frank Miller ini mendapatkan satu kesempatan kembali ditangan Nuam Murro untuk hadir memuaskan para Fans yang merindukan cerita Leonidas dengan kawanannya di film terdahulunya.

Apa yang akan diteruskan dari film terdahulunya? Toh, Film 300 sendiri sudah memiliki akhir yang jelas. 300 : Rise of An Empire adalah sebuah film prekuel dari Zack Snyder’s 300. Cukup mengagetkan memang ketika 300 mendapatkan kesempatan hadir kembali. Tetapi, banyak orang akan memicingkan mata dengan proyek prekuel yang sudah tidak ditangani lagi oleh Zack Snyder yang mampu memberikan sebuah Style Over Substance di film terdahulunya. 


Mengambil setting di samping cerita Leonidas beserta 300 prajuritnya, Themistokles (Sullivan Stepleton), sosok pemimpin Yunani yang berhasil membunuh ayah dari Xerxes (Rodrigo Santoro) di dalam sebuah perang maraton. Keadaan itu memicu Xerxes untuk membalaskan dendam kepada Themistokles. Dalam serangan balas dendamnya, Dia dibantu oleh Artemisia (Eva Green).

Artemisia-lah yang mengatur semua rencana balas dendam yang akan dilaksanakan Xerxes. Themistokles yang tahu akan rencana Artemisia mencari berbagai bala bantuan terutama pada bangsa Sparta yang kala itu sedang  mempersiapkan diri untuk bertempur melawan Xerxes di lain hal. Gorgo (Lena Headey), Istri Leonidas ini ragu dalam memberikan bala bantuan terhadap pasukan Yunani ini. 


Overstyle in a mediocre substance.

Nuam Murro yang kali ini berkesempatan untuk mengarahkan Themistokles dengan kawanan Yunani-nya mencoba menyamai apa yang sudah digapai oleh Zack Snyder di film predesesor-nya. Tetapi, apa yang membuat proyek ini terkesan akan bisa mencapai itu semua adalah bagaimana Zack Snyder masih bisa mengontrol apa yang dikerjakan oleh Nuam Murro. Karena, Zack Snyder masih berkesempatan untuk menaungi film ini karena dirinya duduk di kursi produser.

Sayangnya, 300 : Rise of An Empire ini tidak bisa mencapai semua pencapaian milik Zack Snyder di film 300 sebelumnya. Mungkin, satu hal yang akan menarik dari 300 : Rise of An Empire adalah bagaimana setting waktu yang beriringan antara film ini dengan film terdahulunya yang membuat satu kesatuan menarik. Membuat 300 : Rise of An Empire ini memiliki koneksi dengan film terdahulunya atau bisa dibilang menjadi satu film komplementer atau pelengkap dari film pertamanya.

Menjadi satu film komplementer saja tidak cukup, 300 : Rise of An Empire harus mengalami berbagai hal minor yang mempengaruhi segala pencapaian minim milik Nuam Murro. Bagaimana cerita di film ini tidak memiliki satu hal yang kuat. Cerita yang ada di film ini dipresentasikan apa adanya. Tidak ada emosi kuat yang terjalin yang bisa membuat penonton betah untuk berlama-lama menyaksikan para pejuang yunani untuk melawan Artemisia dan kawanan persia-nya. 


Banyak sekali cerita-cerita yang dilewatkan. Cerita-cerita pendukung milik para karakter yang begitu banyak di film ini. Terutama pada sosok Xerxes yang mungkin disinggung beberapa hal di awal film. Tetapi, pada akhirnya, Xerxes muncul hanya sebagai satu karakter figuran yang malah tidak tahu fungsi dari karakter Xerxes tersebut yang harusnya menjadi satu karakter penting dalam kelangsungan konflik film 300 : Rise of An Empire ini.

Mungkin, bagi penonton awam akan menyukai berbagai battle sequences yang ditawarkan oleh Nuam Murro di film terbarunya ini. Nuam Murro tetap setia dengan berbagai style yang dibuat oleh Zack Snyder di film terdahulunya. Membuat Battle Sequences di film ini disajikan dengan efek slow-motion dan CGI yang akan membuat mata terpanah. Tetapi bagaimana Nuam Murro tetap setia dengan segala style milik Zack Snyder itu malah dipersalahgunakan. 


Nuam Murro terlalu berlebihan dalam mengekspos battle sequences dengan segala gaya slow-motion-zack-snyder-wanna-be. Overstyle, iya. Ini berefek pada segala gimmick-nya yang malah terkesan sok asik dan terlihat palsu sana sini. Mungkin akan berpengaruh dengan format 3D-nya tetapi bagi yang menyaksikannya dalam format 2D? CGI yang berlebihan dengan style yang terlalu ditekankan itu pun menjadi satu efek minor bagi film ini sendiri.

Darah-darah memang bermuncratan dimana-mana. Tetapi, dengan efek CGI yang berlebihan membuat segala sesuatu di film ini tidak lagi asik. Style-nya tidak lagi smooth and cool like it used to be. Nuam Murro jelas menekankan hal yang berlebihan dari presentasi Zack Snyder di film predessesor-nya but in a bad way. Dengan presentasi cerita yang tidak perhatikan, style battle sequences yang berlebihan dimana-mana, bukan berarti tidak bisa dinikmati. Menghibur? Mungkin. Karena beberapa battle choreography film ini masih enak untuk dilihat. 


Dengan nama-nama yang kurang terkenal layaknya Sullivan Stepleton yang ditunjuk sebagai pionir yunani yang memimpin film 300 : Rise of An Empire ini mungkin tidak terlalu kharismatik dan memorable. Tidak seperti karakter Leonidas yang sangat ikonik di film terdahulunya. Bahkan, dirinya terlihat lemah dibandingkan dengan para karakter perempuan di film ini. Malah, para perempuan di film inilah yang mengambil alih segala spotlight yang ada terlebih pada sosok Eva Green yang menjadi Artemisia. Para perempuan mendapatkan andil penting bagi kelangsungan film ini.

300 : Rise of An Empire bisa dibilang menjadi dibukanya satu pintu gerbang untuk menjadikan 300 sebuah franchise baru di dunia perfilman Hollywood. Dengan cliffhanger ending, maka jelas menjadi satu clue bahwa sekuel, prekuel, ataupun spin-off dari 300 akan hadir kembali menyapa para penonton entah beberapa tahun lagi. Toh, film ini dengan predesesor-nya pun memiliki rentang waktu yang lama hingga akhirnya dirilis di bioskop.


Overall, 300 : Rise of An Empire adalah sebuah prekuel yang dengan cukup banyak minus yang akhirnya membuat film ini not well-cooked. Cerita yang sama sekali tidak diperhatikan dan malah menekankan segala battle sequences dan style-nya yang juga terlalu berlebihan membuat film ini tidak bisa mencapai keberhasilan predesesor-nya. Bring it back to Zack Snyder, maybe it will be something massive in the next 300’s project movie.


Seperti yang sudah disebutkan di atas, 300 : Rise of An Empire pun dirilis dalam format 3D untuk memaksimalkan adegan-adegan peperangan yunani dan persia. Berikut resensi format 3D dari film 300 : Rise Of An Empire

DEPTH 
 Sangat luar biasa, kedalaman film ini saat disaksikan dalam format 3D benar-benar mengagumkan. Kita seperti melihat langsung peperangan yang terjadi di film ini.

POP-OUT 
Dengan gimmick yang terkesan over, mungkin efek pop-out dari 300 : Rise of An Empire tidak memiliki satu hal yang signifikan. Beberapa mungkin iya, tetapi tidak terlalu berinteraksi dengan mata penontonnya. 

Overall, 300 : Rise of An Empire sangat direkomendasikan dalam format 3D. Meskipun ceritanya memiliki banyak sekali kekurangan. Setidaknya, dengan format 3D itu akan menghapus luka bagi yang mengharapkan sesuatu lebih dari isi 300 : Rise of An Empire. It’s worth for every penny.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar